Kesahkaltim.com – Keprihatinan dari berbagai kalangan bermunculan menyusul kasus perundungan yang terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMP Negeri 3 Doko, Desa Sumberurip, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Salah satu respons keras datang dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon FISIP Universitas Mulawarman (UNMUL), yang menilai insiden tersebut sebagai bukti masih kuatnya budaya kekerasan terselubung di lingkungan pendidikan.otan publik setelah viralnya sebuah video yang memperlihatkan WV (12), siswa kelas 7, menjadi korban pengeroyokan oleh sejumlah siswa lain dari kelas 7, 8, hingga 9. Berdasarkan keterangan yang beredar, korban dijemput oleh kakak kelas dan dibawa ke dekat kamar mandi sekolah, lalu dianiaya secara bergiliran.
Menanggapi peristiwa ini, Kabiro Advokasi dan Kajian Keilmuan PMII Rayon FISIP UNMUL, Raihan Amali, menyebut bahwa kekerasan yang terjadi bukan sekadar insiden spontan, tetapi bagian dari pola sistemik yang telah mengakar dalam sistem pendidikan. Samarinda, 22 Juli 2025.
“Budaya seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kadang dibungkus atas nama kedisiplinan, keakraban, atau tradisi antarangkatan. Tapi di dalamnya ada kekerasan psikologis dan fisik yang tak pernah ditangani serius,” ujar Raihan.
Ia menyayangkan masih adanya sikap permisif dari sebagian tenaga pendidik dan orang tua terhadap tindakan kekerasan di sekolah. Menurutnya, jika sekolah gagal menjadi tempat yang aman, maka upaya pembentukan karakter peserta didik akan sia-sia.
“Kita tidak bisa terus anggap ini hal biasa. Sekolah seharusnya jadi tempat paling aman bagi anak-anak. Kalau sekolah saja tidak bisa melindungi mereka, lalu bagaimana bisa bicara soal pendidikan karakter?” pungkasnya.
Lebih lanjut, Raihan menegaskan bahwa perundungan termasuk dalam tindakan pidana, terlebih jika melibatkan kekerasan terhadap anak. Ia mengutip Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan larangan melakukan atau membiarkan kekerasan terhadap anak.
“Permintaan maaf atau mediasi tidak serta-merta menghapus hak anak atas perlindungan hukum. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan hanya penonton. Sekolah sebagai institusi negara, tidak boleh abai,” tegasnya.
Raihan juga menekankan bahwa penyelesaian kasus semacam ini tidak cukup hanya melalui jalur mediasi, namun harus diiringi dengan perubahan struktural dalam tata kelola pendidikan. Ia mendorong evaluasi terhadap sistem MPLS serta pembenahan budaya sekolah secara menyeluruh.
“Saya berharap budaya perundungan ini tidak hanya diselesaikan di Blitar, tapi juga di seluruh satuan pendidikan, khususnya di Kalimantan Timur. Setiap anak punya hak untuk belajar dengan aman dan nyaman, tanpa rasa takut,” ucapnya.
Di akhir pernyataannya, Raihan mengajak seluruh elemen masyarakat—pemerintah, guru, orang tua, hingga lingkungan sosial—untuk bersama-sama membangun kultur pendidikan yang bebas kekerasan dan menumbuhkan nilai keadilan, empati, dan saling menghargai.
“Sudah waktunya kita ubah pola pikir. Disiplin bukan berarti kekerasan. Teguran bukan berarti pemukulan. Tradisi bukan berarti dominasi. Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang sehat, aman, dan membebaskan,” tutupnya.