Kesahkaltim.com – Tujuh puluh sembilan tahun sudah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berdiri sebagai institusi penegak hukum sekaligus penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Di usia yang semakin matang ini, tentu masyarakat berharap Polri semakin profesional, adil, dan berintegritas. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa harapan publik terhadap institusi Bhayangkara masih belum sepenuhnya terpenuhi.
Peringatan Hari Ulang Tahun Bhayangkara bukan semata-mata seremoni barisan dan parade, tetapi seharusnya menjadi momentum evaluatif dan reflektif. Kepercayaan publik terhadap Polri bukanlah sesuatu yang bersifat otomatis, melainkan harus dibangun dan dijaga secara konsisten melalui tindakan nyata dan transparan.
Di berbagai daerah, suara-suara kekecewaan terhadap kinerja Polri masih sering terdengar. Masyarakat, khususnya dari kalangan bawah, kerap mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan yang adil dan cepat dari institusi kepolisian. Banyak dari mereka merasa takut untuk melapor ke kantor polisi, bukan karena bersalah, tetapi karena merasa suara mereka akan diabaikan.
Persoalan serius lainnya adalah masih maraknya kekerasan oleh oknum aparat terhadap demonstran, lambannya proses penanganan laporan masyarakat, serta dugaan adanya diskriminasi dalam pelayanan. Kondisi ini tidak hanya menciptakan jurang antara rakyat dan polisi, tetapi juga melemahkan legitimasi hukum yang seharusnya ditegakkan secara setara.
Kritik terhadap Polri seringkali disalahartikan sebagai upaya menjatuhkan institusi. Padahal, kritik adalah bentuk kepedulian dan ekspresi harapan rakyat akan hadirnya polisi yang humanis, adil, dan berpihak pada kebenaran. Ketika rakyat berhenti mengkritik, itulah tanda bahwa mereka telah kehilangan harapan.
Lebih ironis lagi, kritik publik sering dijawab dengan pembelaan defensif, bukan langkah-langkah pembenahan. Ini menunjukkan bahwa sebagian elemen dalam tubuh Polri masih belum siap menerima masukan secara terbuka. Seharusnya, kritik dijadikan bahan introspeksi untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan etika profesi.
Di level birokrasi, proses pelaporan, penyelidikan, hingga pengurusan administrasi kerap berbelit. Oknum yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi masih menjadi noda yang merusak citra Polri secara keseluruhan. Ini menjadi bukti bahwa reformasi internal belum menyentuh akar masalah secara mendalam.
Polisi yang dicintai rakyat bukanlah yang disegani karena seragam atau pangkat, tetapi karena integritas dan keberaniannya dalam membela kebenaran. Polri harus menjadi institusi yang kuat, bukan hanya dalam hal kekuatan fisik dan kewenangan hukum, tetapi juga dalam etika, moralitas, dan kepekaan sosial. Karena sejatinya, keadilan hanya bisa ditegakkan oleh mereka yang bekerja dengan hati nurani.
HUT Bhayangkara ke-79 seharusnya tidak berhenti pada perayaan seremonial semata. Lebih dari itu, ini harus menjadi titik balik untuk evaluasi menyeluruh dan komitmen bersih-bersih internal secara nyata dan menyeluruh. Polri harus berani keluar dari problem yang dihadapi dan menghadapi kenyataan bahwa perubahan sejati tidak bisa ditunda lagi.